Terdampar di Pulau Belitung
"Gak!!! Tasha gak mau!!!” teriakku dari bawah bantal. “Sha, kamu harus belajar, gak boleh main mulu!!” jawab Mama yang sedang menyiapkan lauk untuk makan malam.
“Shaaaa...Tashaaaa...” panggil Mama untuk kesekian kalinya. Namun tak kugubris sedikit pun. Aku BT. Padahal hari ini Mama masak lauk kesukaanku, alias ayam panggang. Bahkan, Mama juga membuatkan aku puding cokelat. Sedangkan tadi siang, aku belum sempat makan puding kesukaanku itu.
“Yah, gak kebagian deh nih....” aku menggerutu. “Bang Rio pasti bakalan ngabisin pudingnya.” Bibirku memble membayangkan Bang Rio menyantap semua puding cokelatku tanpa sisa.
“Biarin deh, gak papa. Abisnya mama sih, aku kan bosen disuruh belajar mulu. Kalo aku bosen main pasti aku ke meja belajar juga nantinya. Tapi kalo udah diginiin, yang ada aku malah jadi BT. Jadi gak mood belajar.” kurelakan seloyang puding cokelat favoritku karena rasa jenuh selalu disuruh belajar oleh Mama.
“Mama gak ngertiin aku banget, sih!” aku mendumel sendiri di dalam kamarku yang bercat hijau muda dengan hiasan wallpaper daun dan bunga-bunga berwarna-warni di dua sisi dindingnya. Aku mendumel terus-menerus sampai lupa kalau aku belum makan malam. Yang terakhir kuingat, aku makan siang sepulang sekolah. Itu juga dengan lauk seadanya –mama belum selesai masak- dan karena dipaksa mama makan, kalau tidak, mungkin aku lebih memilih mengunyah wafer cokelat kesukaanku daripada makan nasi.
“Hhffff...” hembusan nafas menandai keresahanku. Aku bosan diperlakukan seperti ini setiap hari. Tiap hari harus bangun pagi-pagi. Mandi, memakai seragam putih-merahku, lalu naik sepeda ke sekolah. Di sekolah, bertemu teman-teman, bapak dan ibu guru. Setelah itu, istirahat, main dengan teman-teman. Lalu sepanjang kegiatan belajar berlangsung harus memperhatikan Bu Elly –wali kelasku- dengan serius ketika menerangkan pelajaran kalau tidak mau dipanggil ke depan dan duduk tepat di depannya. Lalu, ketika bel berbunyi, aku harus langsung pulang secepatnya naik sepeda lagi kalau tidak mau diinterogasi mama setibanya di rumah. Sampai rumah ganti baju, kemudian makan siang. Hiiii.... setelah itu mengerjakan PR lalu tidur siang. Aku sebal sendiri membayangkan rutinitasku yang tak berubah dari waktu ke waktu.
Aku menghela nafas sejenak. “Mengapa sekolah terasa begitu membosankan, ya? Udah gitu mama nyuruh aku belajaaaaarrrr muluuuu...” protesku.
“Aku mau pergi aja ah dari rumah.”, sebuah ide cemerlang lahir begitu saja. Aku tersenyum puas.
***
Sayup-sayup kudengar deburan ombak bergemuruh. Ada kesejukan terasa di tubuhku, mengalir lewat celah-celah baju yang diterpa angin. Aku merasakan pakaianku basah kuyup. Tanganku menggenggam butiran-butiran pasir yang putih dan berkilauan terkena sinar mentari pagi. Aku tidak tahu dimana keberadaanku saat ini. Aku rasa aku belum pernah ke sini sebelumnya.
Tubuhku terasa amat sakit di beberapa bagiannya. Perlahan aku bangkit, mencoba menyesuaikan mataku dengan sekeliling. Tubuhku juga belum dapat bergerak banyak. Aku memaksakan diri untuk duduk dengan bertumpu pada satu tangan agar tetap kokoh. Di mana aku saat ini? Aku melihat sepotong kayu mengapung terombang-ambing di dekat kakiku.
“Ini seperti serpihan kayu kapal” pikirku dalam hati.
“Aduuuuh...” kepalaku tiba-tiba terasa begitu nyeri.
Tak lama, sebuah suara seorang pria dewasa terdengar dari belakang tubuh mungilku. “Nak?”, sapanya ragu.
“Yaaaa..” aku menjawab masih dengan posisi duduk menghadap ke arah lautan tak lagi dibantu bertumpu dengan satu tangan tapi kini memegang kepala.
Bapak itu mengenakan celana sebetis, dengan baju kaos polos oblong berwarna putih. Di tangannya terdapat sebuah ember kosong, sedangkan di tangan yang satunya terdapat sebuah bambu yang sudah dikikis hingga ramping seperti alat pancing.
“Nak, kao baik-baik aja’ ke?”[1] kerutan di dahinya menjelaskan bahwa ia khawatir padaku.
Aku mengangguk ragu. “Saya di mana, Pak?”
“La uda, kini Bapak ceritae ken kao. Keliatane kao ukan dari sine’, ye?”[2] ia meletakkan peralatan yang dibawanya.
“Mmm...aak...” belum sempat kujawab, bapak itu mengulurkan tangannya, kemudian kugapai. Ia pun mengangkat dan memapahku hingga di sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu ulin dan borneo.
Beberapa meter sebelum masuk ke rumahnya, bapak itu berteriak. “Meniiiiii...., Atiiiiik...sine’ la[3].”
Seorang gadis kecil seumuran denganku keluar dari rumah, menuruni tiga anak tangga dan melompat sebelum dua tangga terakhir dengan lincahnya.
“Siape ni, yah?” ia menatapku dan langkah kakinya jadi kecil-kecil dan pelan.
“Sine’ bantu ayah! Mane umak?”[4] bapak yang memapahku menyuruh gadis kecil itu membawaku ke dalam rumah. Tanpa banyak berbicara, ia merangkul dan menaruh tanganku di lehernya. Kami bertiga menaiki lima anak tangga di depan rumah itu perlahan-lahan.
Seorang ibu menghampiri kami bertiga yang terduduk di ruang depan keletihan. Pakaian yang kukenakan hampir kering oleh matahari selama perjalanan dari tepi pantai ke rumah bapak ini. Masih sedikit lembab memang. Perutku pun terasa kembung, mungkin karena menelan air laut dan juga karena memakai pakaian yang basah cukup lama. Oh iya, ditambah karena dari kemarin malam aku belum makan.
Aku terperanjat. Aku baru ingat! Kemarin, aku BT sama mama. Akhirnya kuputuskan untuk pergi dari rumah. Aku membawa dua pasang pakaian di dalam tas ransel sekolahku dan juga Giska, boneka beruang berbaju piyama biru temanku.
Ya, Allah.. kini aku sadar. Waktu itu aku memang berjalan di tengah malam sendirian, kemudian aku melihat sebuah perahu kayu. Aku sangat keletihan, kemudian aku tertidur di dalamnya. Lalu, aku tidak ingat lagi, yang kutahu aku terdampar di tepian pantai dan bertemu dengan bapak yang menolongku ini.
“Apa perahu yang kunaiki itu hancur berkeping-keping karena badai di lautan ya?” aku melamun sejenak dan bertanya pada diriku sendiri.
Ibu Atik, istri bapak yang menolongku tadi memberiku pakaian untuk mengganti pakaianku yang basah dan kotor sekali. Rambutku pun kusut mungkin karena terendam air laut ketika terdampar semalam. Aku urungkan niatku untuk mandi. “Nanti sajalah.” pikirku.
Aku ganti baju di sebuah kamar, lebih tepatnya di satu-satunya kamar di rumah itu. Tak banyak hiasan di dalam kamar itu, hanya sebuah lemari pakaian, tempat tidur dari besi, dan sebuah lemari kecil terdiri dari tiga laci. Pakaian yang kupakai pas sekali denganku. Pasti ini adalah kepunyaan putri bapak itu.
Sesudah mengganti pakaian, aku kembali ke ruang depan. Aku melihat ke sebuah meja, di atasnya ada segelas air teh dan sepiring singkong rebus. Aku dipanggil untuk duduk di dekat mereka dan dipersilakan minum dan makan. Aku pun memulai pembicaraan, “Maaf ya Pak, Bu, sudah merepotkan.”
Aku bingung memulai pembicaraan dengan mereka, orang-orang yang sama sekali belum kukenal. Terlebih, aku berada di tempat yang tidak pernah kudatangi sebelumnya.
“Iye, same-same.. kebetulan tadi Bapak na’[5] ke rumah kawan bapak. Na’ ngajak mancing.” bapak yang berumur sekitar 30 tahunan itu menjelaskan.
“Kao dari mane? Ke sine’ cume sendiri ke?”, ibu Atik bersuara.
Aku ragu untuk menjawabnya. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya tentang alasan mengapa aku bisa terdampar di pulau ini? Pasti mereka akan menyimpulkan kalau aku adalah anak yang nakal bila tahu kalau aku pergi dari rumah tanpa sepengetahuan orangtua.
“Mmm...iya, aku sendirian, aku dari Jakarta. Aku naik perahu dan terdampar di sini.” aku memutuskan untuk jujur.
“Ooh, name kao siape ke?”, Meni yang dari tadi hanya memandangiku kemudian berbicara.
Aku tersenyum. “Namaku, Tasha.”
“Namaku Meni. Ini Ayahku dan ini Umak[6]ku.”, Meni memperkenalkan kedua orang tuanya dengan mulut penuh singkong rebus.
Pembicaraan hari itu belum begitu banyak, aku belum mengatakan tentang apa yang terjadi denganku seluruhnya. Mungkin besok baru aku ceritakan kepada Meni dan keluarganya.
Aku tidur dengan Meni di ruang depan yang merangkap sebagai ruang tamu. Meni tidur sekejap setelah ia merebahkan tubuhnya di atas sebuah tikar. Kami sempat bercakap-cakap tentang banyak hal. Ia bercerita tentang tanah tempat tinggalnya begitu juga aku. Aku tertidur menyusul Meni setelah aku menangis pelan-pelan tanpa suara mengingat Mama, Papa, dan Bang Rio di Jakarta. Aku mulai kangen mereka.
***
Pulau Belitung. Yaa.. itu adalah pulau di mana aku terdampar beberapa hari lalu. Pulau kecil yang indah dan terkenal sebagai salah satu penghasil timah terbesar di Indonesia. Pulau yang dikelilingi lautan dan memiliki pantai cantik berpasir putih yang tak kalah indahnya dengan pulau Bali yang pernah kukunjungi liburan kemarin.
Hanya dalam waktu singkat, aku mulai dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarku yang baru. Kebanyakan anak Belitung sangat ramah dan antusias sekali bila ada orang baru yang datang ke kampungnya. Terlebih bila mereka tahu kalau orang itu datang dari kota apalagi dari Jakarta. Mereka tahu kalau aku datang dari Jakarta lewat Meni. Meni menjelaskan kepada teman-temannya dengan bahasa daerah mereka dan dialek yang kental sekali. Beberapa kata sulit kumengerti. Aku hanya tersenyum bila tak tahu harus menjawab apa ketika mereka bertanya kepadaku atau Meni yang akan menjelaskan.
Hari ini, Meni mengajakku berkeliling. Padahal hari masih sangat pagi. Ayam-ayam berkokok bersahut-sahutan menyongsong pagi yang ceria. Mentari mengintip dari ufuk timur. Cahayanya menentramkan hatiku, melupakan sejenak permasalahanku karena terdampar di pulau ini.
Meni dan aku hanya berselisih usia 4 bulan, ia lebih muda dari aku. Kami juga mempunyai rambut yang lurus. Namun, rambut Meni berwarna sedikit merah kecoklatan –katanya karena ia sering bermain di pinggir pantai pada siang hari- dan panjang sebahu, sedangkan rambutku berwarna coklat dan panjang sepinggang. Kulit Meni coklat, ia juga pernah mengatakan padaku kalau ia ingin sekali tidak keluar rumah selama sebulan supaya ia bisa memutihkan kulitnya. Ia bilang ia sangat senang melihatku, ia suka rambutku, ia suka kulitku yang sawo matang dan senyumku yang manis. Aku senang sekali berteman dengan Meni, ia adalah anak yang polos dan pemberani. Ia juga suka membantu ibunya memasak, menimba, dan menyapu halaman ketika dirumah bahkan ia juga suka ikut ayahnya memetik kelapa dan mencari kijing[7] dan kremis[8] di pinggir pantai.
Meni mengajakku berkeliling ke berbagai tempat di Belitung. Ia mengajakku ke Pasar Tanjong yang terletak di Tanjung Pandang. Waktu itu Umak Meni menyuruh kami ke pasar. Meni mengajakku ke sana meskipun kami harus berjalan cukup jauh karena pasar itu letaknya di kota, sedangkan rumah Meni di daerah kampung. Pasar itu menjual ikan-ikan segar yang langsung didatangkan dari tempat pelelangan ikan langsung setelah nelayan selesai melaut.
Meni juga mengajakku ke Tanjung Pendam, pantai yang terletak di kota. Kata Meni, banyak yang sering datang ke sana bila sore hari. Waktu kami ke sana tidak begitu ramai karena waktu itu masih pagi. Kami hanya mampir ke sana sebentar. Sebenarnya alasan kami pergi ke kota karena Umak Meni menyuruh kami ke pasar, tetapi Meni ingin sekali mengenalkan kepadaku berbagai tempat di daerahnya. Nampak sekali ia bangga menjadi anak Belitung.
Pernah juga Meni mengajakku ke rumah neneknya di Sijok. Sijok berada di daerah pegunungan, makanya di sana sangat sejuk ketika siang hari dan dingin pada malam hari. Waktu itu, kami ke sana bertiga, aku dan Meni ditemani Ayah Meni. Sijok terlalu jauh untuk ditempuh kami yang masih belum genap 10 tahun, karena tempat itu hanya dapat ditempuh menggunakan angkot. Di sana, aku menghirup udara yang sangat segar, udara yang tak mungkin lagi dapat dihirup di Jakarta yang sudah penuh polusi. Benar-benar menenangkan dan menyenangkan perjalananku waktu ke Sijok. Kami pulang pukul lima sore dan dibekali nenek Meni dengan kue-kue khas Belitung seperti apem dan jemput-jemput[9]. Kami juga dibawakan buah manggis dan rambai[10] seplastik besar –karena waktu itu sedang musim buah.
Kata Meni, besok ia akan mengajakku ke pantai Tanjung Kelayang. Pantai tempat aku terdampar waktu itu. Ia ingin mengajakku mencari kijing dan kremis. Tidak hanya itu, kami berencana akan berenang. Wah, aku sangat menantikan hari esok.
***
Seperti biasanya, aku dan Meni bangun pagi-pagi dan membantu Umak Meni menimba air dulu. Setelah itu, kami mandi dan bergegas ke pantai. Aku dan Meni berjalan kaki karena pantai Tanjung Kelayang tidak begitu jauh letaknya dari rumah Meni. Lagipula, bila kami berjalan kaki, Meni bisa mengenalkan tempat-tempat yang belum aku kenal sepanjang perjalanan menuju pantai. Di Belitung, belum banyak angkutan umum seperti di Jakarta. Di sana memang ada angkot tetapi masih sedikit, anehnya, angkot di sana bisa mengantarkan penumpangnya sampai tepat di rumahnya masing-masing asal masih searah dengan jalur yang supir itu lalui.
Suara gemuruh ombak, angin sejuk yang membuat daun-daun pohon kelapa menari, pasir putih yang berkilau disinari mentari pagi, juga ombak-ombak kecil yang berkejar-kejaran membangkitkan semangatku. Aku berlari-lari kecil. Menggandeng tangan kiri Meni dan mengajaknya ikut berlari ke bibir pantai. Kami tertawa-tawa. Aku sangat bahagia hari itu.
Kami bermain air, berjalan-jalan mencari kerang dan kepiting. Menyusuri tepi pantai terkadang berlari-lari, kadang duduk. Kami membiarkan badan kami basah disentuh ombak yang pecah.
“Meni, di sini indah banget ya? Tau gak sih? Di Jakarta tuh pantainya udah gak seindah di sini.” kataku sambil memungut beberapa cangkang kerang kosong yang lucu dan indah.
“Iye ke[11]?” Meni kembali bertanya. Ia mengorek-ngorek pasir untuk mencari ume[12].
“Iya, Men....” aku bercerita bagaimana keadaan pantai Ancol di Jakarta. Pantai yang sering aku kunjungi bersama Papa, Mama, dan Bang Rio.
Sha, ini baru siko’[13] pantai di Belitung, masi ade beberapa lagi yang ndak kalah indahnye. Ada Tanjung Tinggi, Tanjung Binga, eemm.. Tanjung Pendam,” Meni terdiam sebentar seperti berpikir. “Eh, itu la ye[14]? Tasha mau ke kapan-kapan aku ajak?
“Iya, aku mau banget.”
Kami tersenyum bersama.
“Meni....” aku memanggil sahabat baruku itu. Ia menoleh ke arahku, kemudian aku menyiprati Meni dengan air. Ia membalasku. Kami main siram-siraman, lalu berkejar-kejaran.
Meni berhenti mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Begitu juga dengan aku.
“Sha, sine’ la[15].” Meni menaiki bebatuan besar di pinggiran pantai. Ia melompat-lompat dari satu batu ke batu yang lainnya hingga di sebuah batu besar yang tingginya sekitar 2 meter. Di Tanjung Kelayang, memang terdapat banyak batu-batu besar yang terletak di pinggiran pantainya hingga ada yang menjorong hampir ke tengah laut.
Aku menghampirinya, terbius sejenak membayangkan aku sedang berada di surga. “Oh, indahnya...” batinku.
Kaki mungilku menapaki satu persatu bebatuan besar itu. panas matahari yang terserap oleh batu-batu terasa hangat di telapak kakiku. Aku naik perlahan-lahan karena batu-batu yang kudaki semakin besar dan tinggi.
“Meniiiii... tungguuuu...” panggilku.
“Iyaa, sine’, Sha..” Meni mengajakku untuk lebih dekat ke tempat dia berdiri sambil melambaikan tangannya.
Kami berdiri di sebuah batu paling besar dan tinggi di pantai itu. Meni mengajakku untuk melompat ke air. Dia bilang, ia dan teman-teman sepermainannya sering melakukan itu. Katanya, itu adalah permainan yang paling mengasyikkan dibandingkan main galaksing, badok[16], sembunye-sembunyean[17], dan berbagai permainan khas anak-anak Belitung lainnya. Terjun dari batu paling tinggi dan menyelam di laut itu sangat asyik bagi Meni.
Aku menolak. “Meni, aku memang suka main air, tapi aku tidak pernah melompat dari tempat setinggi ini. Lagipula, ini laut, bukan kolam berenang.” aku mencoba meyakinkan Meni untuk tidak memaksaku.
“Ayuk[18], Sha....” bujuk Meni. “Sehabis Tasha terjun, Meni terjun jue[19]. La[20] itu kite berenang ketepian.” Meni menambahkan.
“Dalem gak?” kataku sambil melihat ke bawah.
Meni menggelengkan kepalanya, tapi tak lama. Kemudian ia meralat dengan anggukan cepat. “Yaa..ndak dalem-dalem amat se’. Pasti Tasha bisa!” Meni berbicara begitu semangat. Kali ini aku sangat yakin kalau Meni memang jagoan perempuan yang pemberani.
“Mama...aku gak berani..” aku mengadu pada Mama dalam hati.
“Meni..aku turun aja yah?” aku melihat ke arah Meni yang berada di belakangku. Meni berdiri dengan tangan yang siap untuk mendorongku terjun.
Maammaaaaaaaaaaa.....
***
“Mmm...Maa..Mama....Mammaaaaaa....!!!” aku berteriak sekuat yang aku bisa. Mama mengoncangkan tubuhku dan memelukku.
“Sayanggg...” suara mama terdengar samar di telingaku.
“Sha...Tashaaaa...,” mama memelukku hangat. “Ini Mama sayang..”
Kubuka mataku perlahan. Kucoba mengenali di mana aku berada saat ini. Mengapa ada Mama? Ada fotoku bersama teman-teman memakai seragam TK terpaku di dinding berwarna hijau dan boneka-boneka beruangku termasuk Giska duduk manis di atas meja tepat di samping tempat tidurku. Tempat ini tak asing. Ini kamarku. Ya, ini memang kamarku, ada sebuah buku Ensiklopedi Nusantara terbuka disampingku. Tepat di halaman 87, tentang pulau Belitung, pulau yang dulu termasuk dalam provinsi Sumatera Selatan –tetapi sekarang menjadi provinsi sendiri yaitu provinsi Bangka Belitung. Tempat Mamaku dilahirkan. Mama memang berasal dari Belitung, sedangkan Papaku keturunan Padang-Medan.
“Maa, Tasha tadi mimpi tenggelem,” kataku mengadu. “Tasha didorong ke laut, Ma,” Nafasku masih terengah-engah karena mimpi barusan terasa begitu nyata. “Tasha, takut banget. Mama tau gak, dalam mimpi itu Tasha terdampar di Belitung. Teruuus, Tasha dito...”
Belum sempat aku melanjutkan kalimat, telunjuk mama menempel di bibirku, “Ssstt...”
“Sayang, ni liat ada siapa?” Mama menunjuk dengan pandangan matanya menuju dua sosok yang tidak kukenal. Ada seorang anak perempuan yang sebaya denganku dan seorang wanita yang nampaknya adalah ibunya. Muka mereka berdua mirip, hanya saja senyum putrinya lebih manis sedikit dari ibunya.
Aku tersenyum. Tatapan ku pada mama meminta jawaban tentang siapa mereka berdua.
“Ini Busu[21] Dede, dan ini Meni.” mama seperti mengerti arti dari tatapanku tadi.
“Ooo...” aku agak kaget juga dengan nama itu. Meni kan temanku ketika di Belitung.
“Sha, Busu Dede dan Meni akan menginap sementara di rumah kita selama mereka di Jakarta. Kamu ingat tidak? Waktu kamu kecil dulu,” Mama diam sejenak. “...kira-kira umur berapa ya De?” tanyanya pada Ibu Meni.
“Tige atau empat tahun kalau tidak salah salah.” jawab Busu Dede.
“Iya..iyaaa.. waktu itu kita ke Belitung sama Papa dan Nenek. Kita menginap di rumah Meni beberapa hari.
“Masa’ sih ma? Kok aku gak inget ya?” Hehehe...aku tersenyum-senyum sendiri mengingat kebetulan-kebetulan yang kualami barusan.
Suasana hening. Busu Dede dan Meni keluar dari kamarku setelah bercakap-cakap sebentar dengan aku dan Mama. Tinggal aku dan Mama di dalam kamar. Mama duduk di pinggir tempat tidurku. aku memandangi Mama. Ada perasaan rindu yang teramat besar timbul begitu saja. Aku seperti sudah berminggu-minggu tidak bertemu dia.
“Maaaa...,” aku memanggil Mama dengan manja. “Maafin Tasha yaa..” spontan kuulurkan tangan dan memeluk Mama. Ada perasaan bersalah yang timbul karena sikapku tadi malam.
“Iyaa..gak apa-apa sayang. Mama juga minta maaf karena terlalu keras sama kamu.” Mama mengecup pipi kiriku.
Aku masih dalam pelukan mama. Aku tersadar bahwa ada sesuatu yang sedang kugenggam di tangan kananku. Aku membuka jemariku dan kudapatkan sebuah kerang persis seperti yang kupungut di tepi pantai Tanjung Kelayang bersama Meni ketika dalam mimpi. Aku tersenyum dan air mata menitik tertahan di ujung mataku.
Kueratkan pelukanku pada Mama. Aku membisikkan sebuah kalimat yang jarang kukatakan padanya, “Maaa...Tasha sayaaanggg deh sama Mama..”
“Mama juga sayang sama Tasha.” jawabnya.
***
Selamat Hari Ibu, Maa :)
J | 2007
“Shaaaa...Tashaaaa...” panggil Mama untuk kesekian kalinya. Namun tak kugubris sedikit pun. Aku BT. Padahal hari ini Mama masak lauk kesukaanku, alias ayam panggang. Bahkan, Mama juga membuatkan aku puding cokelat. Sedangkan tadi siang, aku belum sempat makan puding kesukaanku itu.
“Yah, gak kebagian deh nih....” aku menggerutu. “Bang Rio pasti bakalan ngabisin pudingnya.” Bibirku memble membayangkan Bang Rio menyantap semua puding cokelatku tanpa sisa.
“Biarin deh, gak papa. Abisnya mama sih, aku kan bosen disuruh belajar mulu. Kalo aku bosen main pasti aku ke meja belajar juga nantinya. Tapi kalo udah diginiin, yang ada aku malah jadi BT. Jadi gak mood belajar.” kurelakan seloyang puding cokelat favoritku karena rasa jenuh selalu disuruh belajar oleh Mama.
“Mama gak ngertiin aku banget, sih!” aku mendumel sendiri di dalam kamarku yang bercat hijau muda dengan hiasan wallpaper daun dan bunga-bunga berwarna-warni di dua sisi dindingnya. Aku mendumel terus-menerus sampai lupa kalau aku belum makan malam. Yang terakhir kuingat, aku makan siang sepulang sekolah. Itu juga dengan lauk seadanya –mama belum selesai masak- dan karena dipaksa mama makan, kalau tidak, mungkin aku lebih memilih mengunyah wafer cokelat kesukaanku daripada makan nasi.
“Hhffff...” hembusan nafas menandai keresahanku. Aku bosan diperlakukan seperti ini setiap hari. Tiap hari harus bangun pagi-pagi. Mandi, memakai seragam putih-merahku, lalu naik sepeda ke sekolah. Di sekolah, bertemu teman-teman, bapak dan ibu guru. Setelah itu, istirahat, main dengan teman-teman. Lalu sepanjang kegiatan belajar berlangsung harus memperhatikan Bu Elly –wali kelasku- dengan serius ketika menerangkan pelajaran kalau tidak mau dipanggil ke depan dan duduk tepat di depannya. Lalu, ketika bel berbunyi, aku harus langsung pulang secepatnya naik sepeda lagi kalau tidak mau diinterogasi mama setibanya di rumah. Sampai rumah ganti baju, kemudian makan siang. Hiiii.... setelah itu mengerjakan PR lalu tidur siang. Aku sebal sendiri membayangkan rutinitasku yang tak berubah dari waktu ke waktu.
Aku menghela nafas sejenak. “Mengapa sekolah terasa begitu membosankan, ya? Udah gitu mama nyuruh aku belajaaaaarrrr muluuuu...” protesku.
“Aku mau pergi aja ah dari rumah.”, sebuah ide cemerlang lahir begitu saja. Aku tersenyum puas.
***
Sayup-sayup kudengar deburan ombak bergemuruh. Ada kesejukan terasa di tubuhku, mengalir lewat celah-celah baju yang diterpa angin. Aku merasakan pakaianku basah kuyup. Tanganku menggenggam butiran-butiran pasir yang putih dan berkilauan terkena sinar mentari pagi. Aku tidak tahu dimana keberadaanku saat ini. Aku rasa aku belum pernah ke sini sebelumnya.
Tubuhku terasa amat sakit di beberapa bagiannya. Perlahan aku bangkit, mencoba menyesuaikan mataku dengan sekeliling. Tubuhku juga belum dapat bergerak banyak. Aku memaksakan diri untuk duduk dengan bertumpu pada satu tangan agar tetap kokoh. Di mana aku saat ini? Aku melihat sepotong kayu mengapung terombang-ambing di dekat kakiku.
“Ini seperti serpihan kayu kapal” pikirku dalam hati.
“Aduuuuh...” kepalaku tiba-tiba terasa begitu nyeri.
Tak lama, sebuah suara seorang pria dewasa terdengar dari belakang tubuh mungilku. “Nak?”, sapanya ragu.
“Yaaaa..” aku menjawab masih dengan posisi duduk menghadap ke arah lautan tak lagi dibantu bertumpu dengan satu tangan tapi kini memegang kepala.
Bapak itu mengenakan celana sebetis, dengan baju kaos polos oblong berwarna putih. Di tangannya terdapat sebuah ember kosong, sedangkan di tangan yang satunya terdapat sebuah bambu yang sudah dikikis hingga ramping seperti alat pancing.
“Nak, kao baik-baik aja’ ke?”[1] kerutan di dahinya menjelaskan bahwa ia khawatir padaku.
Aku mengangguk ragu. “Saya di mana, Pak?”
“La uda, kini Bapak ceritae ken kao. Keliatane kao ukan dari sine’, ye?”[2] ia meletakkan peralatan yang dibawanya.
“Mmm...aak...” belum sempat kujawab, bapak itu mengulurkan tangannya, kemudian kugapai. Ia pun mengangkat dan memapahku hingga di sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu ulin dan borneo.
Beberapa meter sebelum masuk ke rumahnya, bapak itu berteriak. “Meniiiiii...., Atiiiiik...sine’ la[3].”
Seorang gadis kecil seumuran denganku keluar dari rumah, menuruni tiga anak tangga dan melompat sebelum dua tangga terakhir dengan lincahnya.
“Siape ni, yah?” ia menatapku dan langkah kakinya jadi kecil-kecil dan pelan.
“Sine’ bantu ayah! Mane umak?”[4] bapak yang memapahku menyuruh gadis kecil itu membawaku ke dalam rumah. Tanpa banyak berbicara, ia merangkul dan menaruh tanganku di lehernya. Kami bertiga menaiki lima anak tangga di depan rumah itu perlahan-lahan.
Seorang ibu menghampiri kami bertiga yang terduduk di ruang depan keletihan. Pakaian yang kukenakan hampir kering oleh matahari selama perjalanan dari tepi pantai ke rumah bapak ini. Masih sedikit lembab memang. Perutku pun terasa kembung, mungkin karena menelan air laut dan juga karena memakai pakaian yang basah cukup lama. Oh iya, ditambah karena dari kemarin malam aku belum makan.
Aku terperanjat. Aku baru ingat! Kemarin, aku BT sama mama. Akhirnya kuputuskan untuk pergi dari rumah. Aku membawa dua pasang pakaian di dalam tas ransel sekolahku dan juga Giska, boneka beruang berbaju piyama biru temanku.
Ya, Allah.. kini aku sadar. Waktu itu aku memang berjalan di tengah malam sendirian, kemudian aku melihat sebuah perahu kayu. Aku sangat keletihan, kemudian aku tertidur di dalamnya. Lalu, aku tidak ingat lagi, yang kutahu aku terdampar di tepian pantai dan bertemu dengan bapak yang menolongku ini.
“Apa perahu yang kunaiki itu hancur berkeping-keping karena badai di lautan ya?” aku melamun sejenak dan bertanya pada diriku sendiri.
Ibu Atik, istri bapak yang menolongku tadi memberiku pakaian untuk mengganti pakaianku yang basah dan kotor sekali. Rambutku pun kusut mungkin karena terendam air laut ketika terdampar semalam. Aku urungkan niatku untuk mandi. “Nanti sajalah.” pikirku.
Aku ganti baju di sebuah kamar, lebih tepatnya di satu-satunya kamar di rumah itu. Tak banyak hiasan di dalam kamar itu, hanya sebuah lemari pakaian, tempat tidur dari besi, dan sebuah lemari kecil terdiri dari tiga laci. Pakaian yang kupakai pas sekali denganku. Pasti ini adalah kepunyaan putri bapak itu.
Sesudah mengganti pakaian, aku kembali ke ruang depan. Aku melihat ke sebuah meja, di atasnya ada segelas air teh dan sepiring singkong rebus. Aku dipanggil untuk duduk di dekat mereka dan dipersilakan minum dan makan. Aku pun memulai pembicaraan, “Maaf ya Pak, Bu, sudah merepotkan.”
Aku bingung memulai pembicaraan dengan mereka, orang-orang yang sama sekali belum kukenal. Terlebih, aku berada di tempat yang tidak pernah kudatangi sebelumnya.
“Iye, same-same.. kebetulan tadi Bapak na’[5] ke rumah kawan bapak. Na’ ngajak mancing.” bapak yang berumur sekitar 30 tahunan itu menjelaskan.
“Kao dari mane? Ke sine’ cume sendiri ke?”, ibu Atik bersuara.
Aku ragu untuk menjawabnya. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya tentang alasan mengapa aku bisa terdampar di pulau ini? Pasti mereka akan menyimpulkan kalau aku adalah anak yang nakal bila tahu kalau aku pergi dari rumah tanpa sepengetahuan orangtua.
“Mmm...iya, aku sendirian, aku dari Jakarta. Aku naik perahu dan terdampar di sini.” aku memutuskan untuk jujur.
“Ooh, name kao siape ke?”, Meni yang dari tadi hanya memandangiku kemudian berbicara.
Aku tersenyum. “Namaku, Tasha.”
“Namaku Meni. Ini Ayahku dan ini Umak[6]ku.”, Meni memperkenalkan kedua orang tuanya dengan mulut penuh singkong rebus.
Pembicaraan hari itu belum begitu banyak, aku belum mengatakan tentang apa yang terjadi denganku seluruhnya. Mungkin besok baru aku ceritakan kepada Meni dan keluarganya.
Aku tidur dengan Meni di ruang depan yang merangkap sebagai ruang tamu. Meni tidur sekejap setelah ia merebahkan tubuhnya di atas sebuah tikar. Kami sempat bercakap-cakap tentang banyak hal. Ia bercerita tentang tanah tempat tinggalnya begitu juga aku. Aku tertidur menyusul Meni setelah aku menangis pelan-pelan tanpa suara mengingat Mama, Papa, dan Bang Rio di Jakarta. Aku mulai kangen mereka.
***
Pulau Belitung. Yaa.. itu adalah pulau di mana aku terdampar beberapa hari lalu. Pulau kecil yang indah dan terkenal sebagai salah satu penghasil timah terbesar di Indonesia. Pulau yang dikelilingi lautan dan memiliki pantai cantik berpasir putih yang tak kalah indahnya dengan pulau Bali yang pernah kukunjungi liburan kemarin.
Hanya dalam waktu singkat, aku mulai dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarku yang baru. Kebanyakan anak Belitung sangat ramah dan antusias sekali bila ada orang baru yang datang ke kampungnya. Terlebih bila mereka tahu kalau orang itu datang dari kota apalagi dari Jakarta. Mereka tahu kalau aku datang dari Jakarta lewat Meni. Meni menjelaskan kepada teman-temannya dengan bahasa daerah mereka dan dialek yang kental sekali. Beberapa kata sulit kumengerti. Aku hanya tersenyum bila tak tahu harus menjawab apa ketika mereka bertanya kepadaku atau Meni yang akan menjelaskan.
Hari ini, Meni mengajakku berkeliling. Padahal hari masih sangat pagi. Ayam-ayam berkokok bersahut-sahutan menyongsong pagi yang ceria. Mentari mengintip dari ufuk timur. Cahayanya menentramkan hatiku, melupakan sejenak permasalahanku karena terdampar di pulau ini.
Meni dan aku hanya berselisih usia 4 bulan, ia lebih muda dari aku. Kami juga mempunyai rambut yang lurus. Namun, rambut Meni berwarna sedikit merah kecoklatan –katanya karena ia sering bermain di pinggir pantai pada siang hari- dan panjang sebahu, sedangkan rambutku berwarna coklat dan panjang sepinggang. Kulit Meni coklat, ia juga pernah mengatakan padaku kalau ia ingin sekali tidak keluar rumah selama sebulan supaya ia bisa memutihkan kulitnya. Ia bilang ia sangat senang melihatku, ia suka rambutku, ia suka kulitku yang sawo matang dan senyumku yang manis. Aku senang sekali berteman dengan Meni, ia adalah anak yang polos dan pemberani. Ia juga suka membantu ibunya memasak, menimba, dan menyapu halaman ketika dirumah bahkan ia juga suka ikut ayahnya memetik kelapa dan mencari kijing[7] dan kremis[8] di pinggir pantai.
Meni mengajakku berkeliling ke berbagai tempat di Belitung. Ia mengajakku ke Pasar Tanjong yang terletak di Tanjung Pandang. Waktu itu Umak Meni menyuruh kami ke pasar. Meni mengajakku ke sana meskipun kami harus berjalan cukup jauh karena pasar itu letaknya di kota, sedangkan rumah Meni di daerah kampung. Pasar itu menjual ikan-ikan segar yang langsung didatangkan dari tempat pelelangan ikan langsung setelah nelayan selesai melaut.
Meni juga mengajakku ke Tanjung Pendam, pantai yang terletak di kota. Kata Meni, banyak yang sering datang ke sana bila sore hari. Waktu kami ke sana tidak begitu ramai karena waktu itu masih pagi. Kami hanya mampir ke sana sebentar. Sebenarnya alasan kami pergi ke kota karena Umak Meni menyuruh kami ke pasar, tetapi Meni ingin sekali mengenalkan kepadaku berbagai tempat di daerahnya. Nampak sekali ia bangga menjadi anak Belitung.
Pernah juga Meni mengajakku ke rumah neneknya di Sijok. Sijok berada di daerah pegunungan, makanya di sana sangat sejuk ketika siang hari dan dingin pada malam hari. Waktu itu, kami ke sana bertiga, aku dan Meni ditemani Ayah Meni. Sijok terlalu jauh untuk ditempuh kami yang masih belum genap 10 tahun, karena tempat itu hanya dapat ditempuh menggunakan angkot. Di sana, aku menghirup udara yang sangat segar, udara yang tak mungkin lagi dapat dihirup di Jakarta yang sudah penuh polusi. Benar-benar menenangkan dan menyenangkan perjalananku waktu ke Sijok. Kami pulang pukul lima sore dan dibekali nenek Meni dengan kue-kue khas Belitung seperti apem dan jemput-jemput[9]. Kami juga dibawakan buah manggis dan rambai[10] seplastik besar –karena waktu itu sedang musim buah.
Kata Meni, besok ia akan mengajakku ke pantai Tanjung Kelayang. Pantai tempat aku terdampar waktu itu. Ia ingin mengajakku mencari kijing dan kremis. Tidak hanya itu, kami berencana akan berenang. Wah, aku sangat menantikan hari esok.
***
Seperti biasanya, aku dan Meni bangun pagi-pagi dan membantu Umak Meni menimba air dulu. Setelah itu, kami mandi dan bergegas ke pantai. Aku dan Meni berjalan kaki karena pantai Tanjung Kelayang tidak begitu jauh letaknya dari rumah Meni. Lagipula, bila kami berjalan kaki, Meni bisa mengenalkan tempat-tempat yang belum aku kenal sepanjang perjalanan menuju pantai. Di Belitung, belum banyak angkutan umum seperti di Jakarta. Di sana memang ada angkot tetapi masih sedikit, anehnya, angkot di sana bisa mengantarkan penumpangnya sampai tepat di rumahnya masing-masing asal masih searah dengan jalur yang supir itu lalui.
Suara gemuruh ombak, angin sejuk yang membuat daun-daun pohon kelapa menari, pasir putih yang berkilau disinari mentari pagi, juga ombak-ombak kecil yang berkejar-kejaran membangkitkan semangatku. Aku berlari-lari kecil. Menggandeng tangan kiri Meni dan mengajaknya ikut berlari ke bibir pantai. Kami tertawa-tawa. Aku sangat bahagia hari itu.
Kami bermain air, berjalan-jalan mencari kerang dan kepiting. Menyusuri tepi pantai terkadang berlari-lari, kadang duduk. Kami membiarkan badan kami basah disentuh ombak yang pecah.
“Meni, di sini indah banget ya? Tau gak sih? Di Jakarta tuh pantainya udah gak seindah di sini.” kataku sambil memungut beberapa cangkang kerang kosong yang lucu dan indah.
“Iye ke[11]?” Meni kembali bertanya. Ia mengorek-ngorek pasir untuk mencari ume[12].
“Iya, Men....” aku bercerita bagaimana keadaan pantai Ancol di Jakarta. Pantai yang sering aku kunjungi bersama Papa, Mama, dan Bang Rio.
Sha, ini baru siko’[13] pantai di Belitung, masi ade beberapa lagi yang ndak kalah indahnye. Ada Tanjung Tinggi, Tanjung Binga, eemm.. Tanjung Pendam,” Meni terdiam sebentar seperti berpikir. “Eh, itu la ye[14]? Tasha mau ke kapan-kapan aku ajak?
“Iya, aku mau banget.”
Kami tersenyum bersama.
“Meni....” aku memanggil sahabat baruku itu. Ia menoleh ke arahku, kemudian aku menyiprati Meni dengan air. Ia membalasku. Kami main siram-siraman, lalu berkejar-kejaran.
Meni berhenti mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Begitu juga dengan aku.
“Sha, sine’ la[15].” Meni menaiki bebatuan besar di pinggiran pantai. Ia melompat-lompat dari satu batu ke batu yang lainnya hingga di sebuah batu besar yang tingginya sekitar 2 meter. Di Tanjung Kelayang, memang terdapat banyak batu-batu besar yang terletak di pinggiran pantainya hingga ada yang menjorong hampir ke tengah laut.
Aku menghampirinya, terbius sejenak membayangkan aku sedang berada di surga. “Oh, indahnya...” batinku.
Kaki mungilku menapaki satu persatu bebatuan besar itu. panas matahari yang terserap oleh batu-batu terasa hangat di telapak kakiku. Aku naik perlahan-lahan karena batu-batu yang kudaki semakin besar dan tinggi.
“Meniiiii... tungguuuu...” panggilku.
“Iyaa, sine’, Sha..” Meni mengajakku untuk lebih dekat ke tempat dia berdiri sambil melambaikan tangannya.
Kami berdiri di sebuah batu paling besar dan tinggi di pantai itu. Meni mengajakku untuk melompat ke air. Dia bilang, ia dan teman-teman sepermainannya sering melakukan itu. Katanya, itu adalah permainan yang paling mengasyikkan dibandingkan main galaksing, badok[16], sembunye-sembunyean[17], dan berbagai permainan khas anak-anak Belitung lainnya. Terjun dari batu paling tinggi dan menyelam di laut itu sangat asyik bagi Meni.
Aku menolak. “Meni, aku memang suka main air, tapi aku tidak pernah melompat dari tempat setinggi ini. Lagipula, ini laut, bukan kolam berenang.” aku mencoba meyakinkan Meni untuk tidak memaksaku.
“Ayuk[18], Sha....” bujuk Meni. “Sehabis Tasha terjun, Meni terjun jue[19]. La[20] itu kite berenang ketepian.” Meni menambahkan.
“Dalem gak?” kataku sambil melihat ke bawah.
Meni menggelengkan kepalanya, tapi tak lama. Kemudian ia meralat dengan anggukan cepat. “Yaa..ndak dalem-dalem amat se’. Pasti Tasha bisa!” Meni berbicara begitu semangat. Kali ini aku sangat yakin kalau Meni memang jagoan perempuan yang pemberani.
“Mama...aku gak berani..” aku mengadu pada Mama dalam hati.
“Meni..aku turun aja yah?” aku melihat ke arah Meni yang berada di belakangku. Meni berdiri dengan tangan yang siap untuk mendorongku terjun.
Maammaaaaaaaaaaa.....
***
“Mmm...Maa..Mama....Mammaaaaaa....!!!” aku berteriak sekuat yang aku bisa. Mama mengoncangkan tubuhku dan memelukku.
“Sayanggg...” suara mama terdengar samar di telingaku.
“Sha...Tashaaaa...,” mama memelukku hangat. “Ini Mama sayang..”
Kubuka mataku perlahan. Kucoba mengenali di mana aku berada saat ini. Mengapa ada Mama? Ada fotoku bersama teman-teman memakai seragam TK terpaku di dinding berwarna hijau dan boneka-boneka beruangku termasuk Giska duduk manis di atas meja tepat di samping tempat tidurku. Tempat ini tak asing. Ini kamarku. Ya, ini memang kamarku, ada sebuah buku Ensiklopedi Nusantara terbuka disampingku. Tepat di halaman 87, tentang pulau Belitung, pulau yang dulu termasuk dalam provinsi Sumatera Selatan –tetapi sekarang menjadi provinsi sendiri yaitu provinsi Bangka Belitung. Tempat Mamaku dilahirkan. Mama memang berasal dari Belitung, sedangkan Papaku keturunan Padang-Medan.
“Maa, Tasha tadi mimpi tenggelem,” kataku mengadu. “Tasha didorong ke laut, Ma,” Nafasku masih terengah-engah karena mimpi barusan terasa begitu nyata. “Tasha, takut banget. Mama tau gak, dalam mimpi itu Tasha terdampar di Belitung. Teruuus, Tasha dito...”
Belum sempat aku melanjutkan kalimat, telunjuk mama menempel di bibirku, “Ssstt...”
“Sayang, ni liat ada siapa?” Mama menunjuk dengan pandangan matanya menuju dua sosok yang tidak kukenal. Ada seorang anak perempuan yang sebaya denganku dan seorang wanita yang nampaknya adalah ibunya. Muka mereka berdua mirip, hanya saja senyum putrinya lebih manis sedikit dari ibunya.
Aku tersenyum. Tatapan ku pada mama meminta jawaban tentang siapa mereka berdua.
“Ini Busu[21] Dede, dan ini Meni.” mama seperti mengerti arti dari tatapanku tadi.
“Ooo...” aku agak kaget juga dengan nama itu. Meni kan temanku ketika di Belitung.
“Sha, Busu Dede dan Meni akan menginap sementara di rumah kita selama mereka di Jakarta. Kamu ingat tidak? Waktu kamu kecil dulu,” Mama diam sejenak. “...kira-kira umur berapa ya De?” tanyanya pada Ibu Meni.
“Tige atau empat tahun kalau tidak salah salah.” jawab Busu Dede.
“Iya..iyaaa.. waktu itu kita ke Belitung sama Papa dan Nenek. Kita menginap di rumah Meni beberapa hari.
“Masa’ sih ma? Kok aku gak inget ya?” Hehehe...aku tersenyum-senyum sendiri mengingat kebetulan-kebetulan yang kualami barusan.
Suasana hening. Busu Dede dan Meni keluar dari kamarku setelah bercakap-cakap sebentar dengan aku dan Mama. Tinggal aku dan Mama di dalam kamar. Mama duduk di pinggir tempat tidurku. aku memandangi Mama. Ada perasaan rindu yang teramat besar timbul begitu saja. Aku seperti sudah berminggu-minggu tidak bertemu dia.
“Maaaa...,” aku memanggil Mama dengan manja. “Maafin Tasha yaa..” spontan kuulurkan tangan dan memeluk Mama. Ada perasaan bersalah yang timbul karena sikapku tadi malam.
“Iyaa..gak apa-apa sayang. Mama juga minta maaf karena terlalu keras sama kamu.” Mama mengecup pipi kiriku.
Aku masih dalam pelukan mama. Aku tersadar bahwa ada sesuatu yang sedang kugenggam di tangan kananku. Aku membuka jemariku dan kudapatkan sebuah kerang persis seperti yang kupungut di tepi pantai Tanjung Kelayang bersama Meni ketika dalam mimpi. Aku tersenyum dan air mata menitik tertahan di ujung mataku.
Kueratkan pelukanku pada Mama. Aku membisikkan sebuah kalimat yang jarang kukatakan padanya, “Maaa...Tasha sayaaanggg deh sama Mama..”
“Mama juga sayang sama Tasha.” jawabnya.
***
Selamat Hari Ibu, Maa :)
J | 2007
Ket:
[1] “Nak, kamu baik-baik saja kan?” [2] “Ya udah, nanti Bapak ceritain sama kamu. Kelihatannya kamu bukan dari sini ya?” [3] sini deh [4] “Sini bantu Ayah. Ibu mana?” [5] mau [6] ibu [7] sejenis cacing yang bisa dimakan [8] sejenis kerang kecil-kecil yang bisa dimakan [9] kue goreng yang terbuat dari campuran tepung dan pisang/tape [10] sejenis duku |